Forgiveness Therapy untuk Meningkatkan Konsep Diri Positif di SMA NU 1 Gresik

 

Forgiveness Therapy sebagai Alternatif Layanan BK dalam Meningkatkan Konsep Diri Positif Peserta Didik SMA NU 1 Gresik

 

 Oleh: 

Muhammad Badril Riza, S.Psi

  

Tak kenal maka tak sayang”, begitu ungkapan lama yang sering menjadi kalimat awal sebelum sebuah perkenalan, maka penulis juga ingin menggunakannya sebelum penulis membagikan pengalamannya terkait best practice dengan topik  forgiveness therapy sebagai alternatif peningkatan konsep diri positif peserta didik SMA NU 1 Gresik.  Penulis adalah guru Bimbingan dan Konseling di SMA Nahdlatul Ulama 1 Gresik. Selain sebagai seorang guru, penulis juga aktif pada lembaga layanan psikologi yang bergerak dibidang training, human development, dan terapi. Tulisan ini merupakan sebuah ringkasan hasil PTBK (Penelitian Tindakan Bimbingan dan Konseling) yang dilakukan penulis.

Sekolah Menengah Atas (SMA) merupakan salah satu jenjang pendidikan formal dimana peserta didiknya merupakan anak usia remaja yakni pada usia sekitar 15 th – 18 th (Hurlock, 1990) .  Pada masa remaja sering disebut sebagai masa yang penuh gejolak dengan adanya berbagai tuntutan atas dasar pertumbuhan dan perkembangan fisik dan psikis. Sehingga dalam diri peserta didik dapat muncul karakter kemampuan remaja untuk mengkonstruksikan diri ideal (self ideal) mereka di samping diri yang sebenarnya. Kemampuan untuk menyadari adanya perbedaan antara diri saat ini dengan diri yang ideal (self ideal) menunjukkan adanya peningkatan kemampuan emosional, dan kognitif. Sedangkan adanya perbedaan yang terlalu jauh antara diri saat ini dengan diri ideal menunjukkan ketidakmampuan remaja untuk menyesuaikan diri dan mengolah emosi lebih positif sebagai upaya penerimaan dirinya.

Remaja biasanya mulai mengalami kebingungan dengan identitas diri mereka. Remaja mulai mencari tahu siapa diri mereka, seperti apa watak mereka dan bagaimana orang lain menilai diri mereka. Pembentukan konsep diri pada remaja sangat penting karena akan mempengaruhi kepribadian, tingkah laku dan pemahaman terhadap diri sendiri. Konsep diri merupakan gambaran individu tentang dirinya yang individu ketahui tentang dirinya, bagaimana individu memandang dan menilai dirinya.

Dinamika perkembangan remaja yang demikian sangat berhubungan dengan konsep diri remaja. Komponen diri yang berhubungan dengan konsep diri yakni Citra Diri ( Self Image), Diri Ideal ( Self Ideal), dan Harga Diri (Self Esteem). Ketiganya terbentuk secara kompleks dari pengalaman pribadi individu terhadap lingkungan dan cara individu memaknai kejadian dalam hidupnya.

Konsep diri yang dimiliki seorang individu tidak langsung terbentuk ketika ia lahir di dunia, melainkan konsep diri itu terbentuk dan berkembang sepanjang rentang kehidupannya. Secara ringkas konsep diri bisa dipengaruhi beberapa aspek, yakni pengalaman masa lalu dan opini publik (Idrus, 2020) . Pengalaman masa lalu yang negatif maupun positif  yang diserap oleh seseorang sebagai pengalaman secara emosional akan mempengaurhi beliefe pada dirinya yang kemudian menentukan bagimana dia bersikap, misalnya saja saya pernah melakukan konseling dengan peserta didik yang sangat sering ceroboh dalam bertindak dan seolah selalu melakukan kesalahan-kesalahan kecil yang harusnya tidak perlu terjadi, setelah beberapa kali sesi konseling terungkap bahwa sejak kecil dia sering disalahkan oleh orang tuanya ketika melakukan berbagai hal, hingga suatu saat orang tuanya marah dan berucap “kamu itu mengerjakan apa saja kok selalu salah, ga pernah betul !”. Hal tersebut ternyata diinterpretasikan oleh pikirannya sebagai pengalaman penuh emosional dan menjadikan dirinya kurang percaya diri dan kurang terampil melakukan berbagai hal.

Konsep diri juga tidak bisa lepas dari lingkungan (opini publik), anak yang tumbuh dilingkungan penuh rasa empati, cinta, motivasi dan rutinitas yang positif akan terdorong untuk melakukan hal yang sama dan lebih mudah menumbuhkan rasa percaya diri serta bakat minatnya. Sebaliknya anak yang tumbuh dilingkungan yang apatis,penuh rasa curiga, tidak percaya, saling menyalahkan, dan rutinitas yang negatif maka akan sulit baginya mennumbuhkan rasa percaya diri.

Secara empiris, penulis menemukan sebuah pola dari hasil layanan konseling yang dilakukan pada 5 tahun terkahir, bahwa seringkali konsep diri negatif yang dialami oleh peserta didik lebih dipengaruhi oleh unfinished emotion, yakni perasaan terdzalimi pada masa lalu oleh lingkungan sekitar yang belum terselesaikan sehingga membentuk berbagai akibat perilaku tidak sadar dimasa kini seperti contoh yang penulis ungkapkan diatas, atau contoh lainnya sekitar 3 tahun lalu penulis melakukan terapi pada peserta didik baru yang tidak percaya diri ketika berada pada kerumunan teman kelasnya, bahkan ia mengalami psikosomatis seperti merasa mual dan pusing. Setelah dua kali sesi terapi ditemukan sebab bahwa ia mengalami pengalaman tidak menyenangkan ketika kelas 1 SMP, dimana dia dihukum oleh seorang guru untuk berkeliling sekolah dengan mengenakan tulisan “saya datang terlambat” yang digantungkan di leherrnya. Sontak saja, teman teman yang melihatnya menertawakannya dan hal tersebut ternyata membekas hingga dia SMA, pengalama itu terinternalisasi dalam ingatannya dan perasaan dipermalukan muncul dalam dirinya namun dida tidak berdaya untuk mengungkapkannya.

Penulis sendiri telah mempelajari tehnik Forguveness therapy sejak tahun 2015, dan penulis merasa bahwa teknik ini relevan untuk menjadi alternatif meningkatkan konsep diri positif peserta didik. Forgiveness Therapy  merupakan serangkaian kegiatan terstruktur berbasis terapi dengan tujuan melepaskan (release) emosi negatif melalui perelaan secara komprehensif, baik aspek kognitif, afektif, maupun perilaku mengenai suatu peristiwa tidak menyenangkan  yang pernah dialami.  Proses memaafkan itu sendiri menurut Enright (2001) meliputi empat tahapan, yakni: uncovering phase (saat-saat mengalami kejadian yang menyakitkan dan berulangulang memikirkannya), decision to forgive phase (insight tentang pentingnya memaafkan), work phase (saat berempati) dan deepening phase (merasakan manfaat dari memaafkan dan makna baru dalam membangun hubungan).

Dalam pelaksanaan forgiveness therapy sebagai layanan BK, penulis mengembangkan sendiri prosedur pelaksanaan terapi yang diambil dari prinsip-prinsip terapi pemaafan. Penulis mengembangkan dua teknik terapi pemaafan, yang pertama yakni audio terapi pemaafan yang bisa diakses melalui link berikut https://youtu.be/pwEE3Fn0Jpw , audio tersebut dapat di akses oleh peserta didik dalam memandu peserta didik melakukan terapi mandiri dirumah. Teknik yang kedua yang dikembangkan oleh penulis adalah teknik diagram kehidupan, yang bisa dilakukan dengan metode bimbingan klasikal atau bimbingan kelompok.

Pada teknik diagram kehidupan, peserta didik akan membuat sebuat life line atau garis kehidupan dimasa lalu hingga masa kini dengan menuliskan kejadian-kejadian yang masih dia ingat baik pengalaman yang menyenangkan maupun yang menyedihkan/menggetirkan. Setelah membuat diagram tersebut, peserta didik dengan dibimbing oleh guru BK menceritakan diagramnya sebagai pelaksanaan tahap action phase atau fase pelepasan pengalaman negatif, kegiatan ini dilakukan dengan membagi peserta didik menjadi kelompok kecil.

Secara ringkas tahapan terapi pemaafan dengan teknik diagram kehidupan dijelaskan pada tabel berikut :

Fase Terapi Pemaafan

Langkah TIndakan

Tujuan

Fase Pengambilan keputusan/ Decision Phase

1.  Guru BK menyajikan materi power point lanjutan dari materi siklus I, materi yang disampaikan adalah macam-macam teknik forgiveness therapy.

2.  Materi power point dipaparkan dengan pendekatan neurosains dimana dalam materi diberikan backsound musik instrumental agar gelombang otak peserta didik berada pada gelombang alpha,  konten materi juga disusun dengan kombinasi gambar, video, serta tekstual.

3.  Guru BK mengajak peserta didik mengingat kembali kejadian kejadian menyakitkan dimasa lalu yang masih diingat hingga saat ini

Peserta didik mampu memahami berbagai macam tehnik forgiveness therapy. Peserta didik mendapatkan pemahaman yang sesuai tentang pemaafan dan pada fase ini peserta didik  memutuskan untuk memberikan pemaafan dengan dasar pemahaman yang telah di dapatkannya. Dan dia menyadari bahwa keputusan yang diambil untuk memaafkan menguntungkan bagi dirinya.

 

 

Fase Pembukaan/ Uncovering Phase

1.      Guru BK membagikan kertas millimeter kepada setiap peserta didik

2.      Guru BK membagi peserta didik menjadi 3 kelompok kecil, setiap kelompok membuat formasi lingkaran kecil dengan lilin aromaterapi dibagian tengah lingkaran.

3.      Guru BK menjelaskan regulasi pembuatan diagram kehidupan.

4.      Peserta didik membuat diagram kehidupan yang berisi pengalaman masa lalu baik yang membahagiakan maupun yang menyedihkan berdasarkan pada usia tertentu yang masih diingat oleh peserta didik.

5.      Guru BK memutarkan musik instrumental sebagai penguat suasana agar peserta didik mampu me-recall ingatan masa lalu secara emosional.

6.      Peserta didik memiliki waktu 10 menit untuk mengerjakan diagram kehidupan

Memunculkan pertentangan terhadap rasa sakit emosional yang terjadi akibat dari peristiwa menyakitkan yang dialami oleh peserta didik. Pada tahap ini peserta didik akan mengalami dan merasakan luka yang benar-benar dirasakan saat terjadinya peristiwa tersebut.

Fase Tindakan/ Action Phase

1.  Guru BK menjelaskan regulasi tahap menceritakan diagram kehidupan

2.  Peserta didik menceritakan isi diagram kehidupan kepada anggota kelompoknya secara bergantian hingga semua peserta didik mendapatkan kesempatan bercerita

3.  Anggota kelompok wajib menyimak sebagai pendengar yang baik dan membangun rasa simpati, empati.

4.  Peserta didik dilarang membahas, menceritakan kembali apapun yang didengarnya pada sesi diagram kehidupan.

5.  Setelah selesai, guru BK melakukan relaksasi  virtual forgiveness therapy, dimana peserta didik dibimbing dalam kondisi trance dan dipertemukan dengan orang-orang yang mendzalimi mereka atau yang telah mrekeda dzalimi. Peserta didik akan dibimbing melakukan pemaafan secara virtual dalam kondisi trance.

Melepaskan/ merelease perasaan dendam, sedih, kegetiran dalam diri peserta didik agar mampu ikhlas menerima segala kondisi hidupnya dengan penuh rasa syukur.

Tujuan akhirnya agar peserta didik mampu berdamai dengan masa lalunya menuju masa depan positif

Fase Pendalaman/ Deepening Phase

1.  Guru BK memberikan review singkat tentang tahapan terapi pemaafan yang telah dilalui peserta didik.

2.  Guru BK menanyakan kepada peserta didik mengenai kesan dan kondisi dirinya setelah mengikuti kegiatan layanan BK.

3.  Guru BK memberikan LKPD yang berisi pertanyaan mengenai kesan yang dirasakan setelah mengikuti layanan BK dan rencana kedepan dalam melakukan perbaikan diri.

Pada tahap ini peserta didik akan menemukan makna dari proses pemaafan dan merasakan kondisi yang lebih baik setelah emndengarkan audio forgiveness therapy.

Perasaan tersebut akan disampaikan secara langsung setelah kegiatan dan mendapat penguatan dri guru BK,  serta dideskripsikan melalui LKPD.

 

Dari hasil pemberian layanan klasikal dengan topik upaya meningkatkan konsep diri positif melalui forgiveness therapy yang juga dijadikan penulis dalam kegiatan penelitian tindakan bimbingan dan konseling (PTBK) didapatkan hasil adanya peningkatan konsep diri positif peserta didik dari siklus I ke siklus II. PTBK dilakukan pada kelas XII dengan jumlah peserta didik sebanyak 24 orang. Guna mengukur tingkat konsep diri peserta didik, penulis menggunakan Instrumen pengukuran konsep diri yang diadopsi dari instrumen penelitian pendahulunya yang telah melalui uji Validitas dan Relaiabilitas oleh Sandi Riawan Nugroho (2010) dengan judul Pengaruh Locus Of Control Dan Konsep Diri Terhadap Kematangan Karir Siswa Kelas Xii Program Keahlian Teknik Ketenagalistrikan SMA Negeri 3 Yogyakarta, dengan memperhatikan kesesuaian butir angket, kemiripan dengan karakteristik subjek penelitian pendahulunya , serta teori yang sama dengan yang digunakan oleh peneliti maka angket ini digunakan.

Secara ringkas hasil PTBK dapat dilihat pada tabel dibawah ini :

 

Tabel 1. Statistik konsep diri pre-siklus

STATISTIK

JUMLAH

Jumlah Responden (N)

24

Skor maksimum (max)

86

Skor minimum (min)

53

Simpangan Baku (std. deviation)

4

Skor rerata (mean)

69

 

Tabel 2. Kategorisasi hasil instrument angket konsep diri pre-siklus

KATEGORI

INTERVAL

JUMLAH

PROSENTASE

Sangat Tinggi

X ≥ 75

11

45,8 %

Tinggi

75 > X ≥ 69

4

16,7 %

Rendah

69 > X ≥ 65

7

29,1 %

Sangat Rendah

X < 65

2

8,3 %

 


 

 

Tabel 3. Statistik konsep diri siklus II

STATISTIK

JUMLAH

Jumlah Responden (N)

24

Skor maksimum (max)

86

Skor minimum (min)

53

Simpangan Baku (std. deviation)

4

Skor rerata (mean)

69

 

Tabel 4. Kategorisasi hasil instrument angket konsep diri siklus II

KATEGORI

INTERVAL

JUMLAH

PROSENTASE

Sangat Tinggi

X ≥ 75

17

70,8 %

Tinggi

75 > X ≥ 69

5

20,8 %

Rendah

69 > X ≥ 65

2

8,3 %

Sangat Rendah

X < 65

-

0 %

 

Dari tabel diatas didapatkan bahwa ada peningkatan konsep diri positif pada peserta didik. Pada pra siklus tindakan terdapat 9 orang peserta didik (37,5%) yang masuk dalam kategori rendah dan sangat rendah, sedangkan pada siklus II jumlah peserta didik yang masuk dalam kategori rendah dan sangat rendah turun menjadi 2 orang (8,3%) . Hal tersebut dapat dideskripsikan bahwa setting tindakan bimbingan dan konseling yang dilakukan berhasil meningkatkan konsep diri positif, 9.

Terakhir untuk menutup ringkasan best practice  ini penulis ingin menyampaikan bahwa seseorang yang menyimpan dendam dan kegetiran hidupnya laksana orang yang ditusuk pisau oleh musuhnya, dan ke manapun orang itu berjalan pisau itu masih menancap begitupun musuhnya yang terus mengikutinya. Rasanya akan sangat sakit dan menjengkelkan, bukan semakin sembuh tapi luka tusuknya akan semakin mengangah. Maka mari kita lepaskan segala dendam, jengkel, dan kegetiran yang selama ini kita simpan.

 

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

PENERAPAN PENDIDIKAN INKLUSIF UNTUK MEWUJUDKAN SEKOLAH RAMAH ANAK DI SMP NEGERI 28 SURABAYA

JURNAL REPLEKSI DWI MINGGUAN MODUL 1.3